PowerNetizen.com – Dalam alur sejarah Nusantara, dua institusi berdiri sebagai penjaga negeri: Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Keduanya adalah tiang penopang harmoni. Namun, angin politik terkini meniupkan wacana mengejutkan: akankah POLRI, sang pengayom sipil, berdiri di bawah bayang-bayang TNI atau Menteri Dalam Negeri (Mendagri)?
Langit demokrasi tampak berawan. Narasi ini, yang menggema dari lorong-lorong kekuasaan, menyulut percakapan di berbagai kalangan. Sebuah perjalanan ke masa lalu dan perenungan masa depan menjadi penting untuk menjawab pertanyaan ini.
Sejarah: Melacak Jejak Bayang-Bayang
Sebelum 1999, POLRI adalah bagian dari ABRI, yang menaungi militer dan kepolisian. Namun, reformasi besar pasca-Orde Baru memisahkan keduanya. Dengan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan UU No. 2 Tahun 2002, POLRI berdiri sendiri sebagai lembaga sipil di bawah Presiden. Tujuannya adalah memastikan demokrasi tanpa dominasi militer.
Namun, sejarah itu juga meninggalkan luka: penggunaan kekuatan militer di ranah sipil sering kali menimbulkan ketidakadilan. Reformasi menjadi jawaban, memisahkan kekuasaan agar militer tetap menjaga kedaulatan, sementara kepolisian fokus pada keamanan sipil.
Dasar Hukum: Pilar yang Menegakkan Bangunan Demokrasi
- Pasal 30 UUD 1945: TNI bertugas mempertahankan kedaulatan negara, sementara POLRI menjaga keamanan masyarakat dan menegakkan hukum.
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian: Menegaskan POLRI sebagai lembaga independen di bawah kendali Presiden, bukan subordinasi militer atau kementerian.
- UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI: Membatasi tugas militer hanya pada fungsi pertahanan dan penanganan ancaman eksternal.
Apabila POLRI diletakkan di bawah TNI atau Mendagri, revisi mendasar pada hukum ini diperlukan. Namun, perubahan tersebut dikhawatirkan melemahkan semangat reformasi dan melanggar asas checks and balances.
Argumentasi: Dualitas Fungsi dalam Demokrasi
Wacana ini memunculkan argumen beragam:
- Pendukung: Mengklaim subordinasi POLRI akan meningkatkan koordinasi dan efisiensi dalam menghadapi ancaman besar, seperti terorisme atau separatisme.
- Penentang: Menganggap usulan ini bertentangan dengan prinsip demokrasi modern, yang memisahkan fungsi militer dan sipil. Dominasi militer dalam ranah sipil dianggap bisa membuka jalan kembali menuju otoritarianisme.
Soedeson Tandra dari Komisi III DPR menolak keras wacana ini, menyebutnya langkah mundur yang berlawanan dengan prinsip reformasi. Ia menegaskan, “Kalau ada tikus di lumbung padi, jangan padinya yang dibakar, tapi tangkap tikusnya” – sebuah metafora tajam untuk menyarankan pembenahan internal, bukan mengubah struktur besar.
Perbandingan Internasional: Cermin Dunia
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memisahkan militer dan kepolisian. Sebaliknya, negara dengan sistem pemerintahan otoriter kerap menyatukan keduanya, yang berisiko melemahkan hak sipil. Indonesia, sebagai negara demokrasi yang berkembang, memiliki tanggung jawab untuk menjaga garis pemisah ini sebagai penanda modernitas dan kemajuan.
Pendapat Publik: Suara Rakyat dari Penjuru Negeri
Dalam diskusi publik, wacana ini mengundang respons beragam. Sebagian besar masyarakat menolak gagasan ini, khawatir subordinasi akan mengembalikan kontrol militer terhadap sipil, seperti di masa lalu.
Namun, ada suara lain yang menyarankan pengawasan lebih kuat terhadap POLRI, tanpa mengurangi independensinya. Dalam kata-kata Rajiv, pengamat politik: “Mari kita kawal POLRI menjadi institusi yang lebih baik, bukan malah melemahkan independensinya”.
Refleksi: Menyulam Masa Depan
Di hadapan langit yang mendung, pertanyaan ini tetap menyala: apakah subordinasi POLRI adalah solusi, atau justru sebuah langkah mundur yang mengaburkan identitas demokrasi Indonesia? Dalam bayang-bayang ini, suara rakyat menjadi penentu.
Bagaimana Anda, sebagai bagian dari perjalanan ini, melihat masa depan? Apakah harmoni bisa tercipta tanpa mengorbankan kebebasan? Mari berdialog demi nusantara yang lebih baik.
Penulis : Budi Gunawan