Oleh: Budi Gunawan
Powernetizen.com – Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sisa-sisa sinarnya menyeruak di antara dedaunan pohon jati yang menggugurkan daun. Di sebuah rumah sederhana di pinggir desa, Liana duduk termenung. Kepulan asap dari tungku di dapurnya membubung, menyisakan aroma kayu terbakar. Sepi. Hanya bunyi jangkrik yang menjadi musik malam itu.
Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa jalan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setiap orang mungkin pernah berangan tentang kehidupan yang sempurna: pernikahan bahagia, anak-anak tumbuh besar dalam cinta, dan hari tua yang penuh kenangan manis. Namun, takdir sering kali lebih lihai menulis cerita hidup, membelokkan harapan yang lurus menjadi kelokan tajam.
Ketika ia memutuskan menikah, ia kira itu adalah tiket menuju kebahagiaan. Cinta memang manis di awal, seperti madu yang baru diperas. Tapi, waktu sering kali mengungkapkan wajah lain yang tak pernah terbayangkan. Suaminya, lelaki yang pernah menjadi tambatan hati, berubah menjadi badai dalam rumah tangga mereka. Kata-kata manis digantikan dengan teriakan, janji berubah menjadi debu yang beterbangan.
“Aku bukan perempuan yang lemah,” gumamnya suatu malam. Namun, bertahan di tengah badai yang tak pernah reda, membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan fisik. Ada luka yang tak kasat mata, memar di hati yang tak pernah sembuh. Hingga pada suatu malam, ia tahu, bahwa bertahan bukan lagi pilihan.
Keputusan itu pahit. Menjadi janda bukanlah impian gadis kecil yang dulu suka berlari di pematang sawah. Di tengah bisikan tetangga dan tatapan penuh tanya, ia melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu. Bukan karena ingin, tetapi karena keadaan yang memaksanya memilih: bebas atau terkubur dalam kesedihan yang tak berujung.
Liana tahu, dunia akan berbicara. Kata “janda” sering kali lebih berat daripada batu yang diangkat oleh petani di sawah. Ia telah mendengar semua; dari bisikan kasihan hingga tatapan sinis yang menyiratkan bahwa ia kini adalah bagian dari cerita yang berbeda, yang mungkin tidak diinginkan siapa pun. Tapi, hanya ia yang tahu apa yang terjadi di balik dinding rumah itu. Hanya ia yang tahu berapa malam yang dihabiskan dalam doa, meminta petunjuk untuk jalan keluar.
“Apakah menjadi janda berarti kalah?”
Ia bertanya pada dirinya sendiri di suatu senja. Tidak. Kalah adalah menyerah pada nasib buruk. Kalah adalah membiarkan diri terperangkap dalam kehidupan yang penuh penderitaan tanpa harapan. Baginya, memilih kebebasan adalah kemenangan. Menjadi janda bukanlah label yang memenjarakan, melainkan tanda bahwa ia cukup kuat untuk mengatakan “cukup.”
Setiap perempuan memiliki kisah.
Ada yang memilih bertahan demi anak-anak, ada yang memilih pergi demi menyelamatkan dirinya sendiri. Tidak ada pilihan yang mudah. Namun, semua perempuan layak mendapatkan kehidupan yang penuh cinta dan penghargaan, bukan hanya dari orang lain, tetapi dari diri mereka sendiri.
Di balik gelar yang diberikan masyarakat, Liana menemukan kembali dirinya. Ia bukan lagi hanya “mantan istri” atau “janda.” Ia adalah perempuan yang memilih hidupnya sendiri, yang berani melawan arus untuk menemukan kedamaian.
Malam itu, ketika langit desa bertabur bintang, Liana tersenyum.
“Menjadi janda bukanlah kemauanku,” bisiknya, “tapi ini adalah awal dari sebuah cerita baru, yang akan kutulis dengan tanganku sendiri.”
Hidup memang tak selalu memberi apa yang kita inginkan. Tapi, pada akhirnya, kita selalu punya hak untuk memilih: bertahan dalam luka atau bangkit dengan kepala tegak, memulai lembaran baru.